“Nggak seindah yang terlihat di drama”. Apa aja tantangan yang mungkin dihadapi saat merantau ke Korea Selatan? Simak selengkapnya di sini!
Semua yang kelihatan indah di drama, nggak selamanya begitu juga di realita.
Nah, apa aja sih tantangan yang mungkin akan dihadapi ketika merantau, terutama bagi perantau asal Indonesia, di Korea Selatan? Berikut ini udah TeaMantappu rangkum berdasarkan hasil wawancara eksklusif bersama dengan Jang Hansol.
Table of Contents
Muslim di Korea Selatan
Sebagai seorang muslim yang tinggal di Korea Selatan, mencari makanan halal selalu jadi tantangan. Hal ini disebabkan oleh minimnya bahan-bahan halal di sana.
Bahkan menurut Hansol sendiri, definisi halal aja bukanlah suatu hal yang umum untuk diketahui oleh masyarakat Korea Selatan. Selain itu, untuk mencari tempat ibadah yang layak pun masih terbilang sulit.
Terlebih lagi, dengan budaya minum alkohol bersama di Korea Selatan yang menjadi salah satu medium utama untuk bisa saling terbuka dan mengakrabkan diri antar kenalan. Sebagai seorang muslim yang tinggal di Korea Selatan, mungkin akan sedikit “tertinggal” dari inside jokes ataupun bond yang sudah terbangun di antara mereka yang sering pergi minum bersama.
Akan tetapi, minum bersama bukan satu-satunya cara untuk mengakrabkan diri dengan orang lain, kok! Bisa juga dilakukan melalui aktivitas lain, seperti jalan-jalan, belanja bersama, dan masih banyak lagi.
Up-To-Date dengan Tren yang Ada
Up-to-date dengan segala tren yang ada adalah salah satu “keharusan” bagi siapapun yang tinggal di Korea Selatan. Kalau nggak update, kamu akan jauh ketinggalan dan nggak bisa mingle dengan orang-orang di sekitarmu.
Memang sih, dengan adanya media sosial, bisa memudahkan untuk terus update dengan tren yang ada. Tapi akan butuh usaha lebih untuk bisa selalu mengenali dan mengimplementasikan setiap tren yang ada. Tapi, hal ini tentu aja tergantung pada prioritas diri masing-masing, ya!
Privilege bagi Kaum Good-Looking
Seperti yang mungkin udah sering teMantappu lihat di drama maupun industri K-Pop, standar kecantikan dan ketampanan Korea Selatan memang sangat tinggi dan ketat. Ketika kamu adalah seseorang yang “good-looking” menurut standar kecantikan dan ketampanan Korea Selatan, maka apapun yang kamu pakai, apapun yang kamu lakukan—meskipun nggak sesuai tren—gimana pun akan dimaklumi.
Situasinya agak berbeda nih, dengan seseorang yang dinilai “kurang” good-looking menurut standar kecantikan Korea Selatan. Mereka memiliki tuntutan secara tidak tertulis untuk selalu mengenakan pakaian “bagus” dan barang-barang yang sedang “tren”.
Lagi-lagi, hal ini kembali ke persepsi dan prioritas dari diri masing-masing, ya!
Bullying dan Rasisme di Korea Selatan
Bullying rentan terjadi di sekolah-sekolah lokal di Korea Selatan. Di sekolah-sekolah publik yang memang sering jadi pilihan bagi warga asing ataupun sekolah yang memang dikhususkan untuk warga asing, kemungkinannya lebih kecil untuk terjadi bullying. Hal ini karena para siswa di sekolah tersebut sudah sama-sama mengerti dan berada di kapal yang sama dengan status sebagai pelajar non-Korea.
Bicara soal rasisme, untuk kasus kota-kota besar seperti Seoul yang sudah jauh lebih open-minded dan sering kali jadi tempat singgah bagi para warga asing, rasisme bisa lebih sedikit ditemukan di sini. Lain soal dengan kota-kota lain di luar Seoul, di mana kemungkinan rasisme lebih tinggi untuk ditemukan.
Oh iya, Hansol berpendapat bahwa sebenarnya orang-orang lokal itu nggak punya kewajiban tertulis untuk menyambut orang asing. Terutama di negara-negara yang monorace atau hanya punya satu ras seperti Korea Selatan, toleransi dan menerima orang asing secara open-minded akan jadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan para warga lokal tidak terbiasa dengan kehadiran warga asing beserta dengan prinsip dan kebudayaan yang mereka bawa.
Yang perlu diingat nih, warga asing juga perlu memaklumi dan memahami untuk nggak mengganggu nilai-nilai kearifan lokal di negara yang sedang kunjungi. Apa lagi sampai memaksa warga lokal hingga bisa menimbulkan konflik. Toleransi itu sejatinya berlaku secara dua arah, setuju nggak?
#RealitaMerantau di Indonesia dan Korea Selatan versi Jang Hansol
Nah, kalau Hansol sendiri, gimana sih pengalamannya selama merantau dan menetap di Indonesia?
Hansol sendiri nggak pernah merasakan adanya culture shock selama tinggal di Indonesia. Mungkin karena ia sudah tinggal di Indonesia sejak kecil, jadi ia bahkan nggak pernah merasa kalau perlu belajar berbahasa Indonesia. Secara natural, ia terbiasa menggunakan Bahasa Korea ketika bersama orang tuanya dan Bahasa Indonesia ketika bersama teman-temannya.
Omong-omong soal sekolah nih, Hansol benar-benar menikmati masa-masa sekolahnya di Malang! Pada waktu itu, kebetulan belum ada HP dan internet, sehingga insting fisiknya jadi lebih aktif dan sehat. Hansol juga termasuk murid yang cukup aktif dengan ikut komunitas dance di sekolah, lho! Selain itu, tuntutan dan standar sekolah di Indonesia tidak setinggi dan sekeras di Korea Selatan sehingga berdampak baik pada kesehatan mentalnya.
Kalau disuruh pilih, Hansol lebih suka tinggal di Malang atau Seoul? Nggak bisa dipungkiri, Hansol memiliki istri, orang tua, keluarga, dan tanggungan di Seoul yang nggak mungkin ia tinggalkan. Tapi, Hansol berkata bahwa kalau ia bisa mengesampingkan ego, maka ia akan pilih untuk bisa tinggal di Malang nih, rek!
***
Sekian artikel kali ini yang membahas tentang “#RealitaMerantau – Tantangan bagi Perantau di Korea Selatan”! Beberapa tantangan yang disebutkan tadi bisa dijadikan insights bagi teMantappu yang ingin merantau ke Korea Selatan, bahwa nggak selamanya yang terlihat indah di drama dan film Korea, akan sama indahnya seperti di kehidupan nyata.
Jangan lupa untuk ikutin terus konten-kontennya Jang Hansol, ya! Sampai jumpa di artikel berikutnya!