Pada peringatan International Mother Language Day, 21 Februari 2024, TeaMantappu berhasil melangsungkan wawancara bersama Cecilia Amalo. Kami membicarakan ulang tentang keberagaman bahasa dan pengalaman Cecil sebagai seorang multilingual yang tinggal di Jepang. Yuk, simak sampai tuntas!
Setelah sebelumnya TeaMantappu membahas ragam konten seputar kehidupan Cecil selama di Jepang, kali ini dalam rangka memeriahkan International Mother Language Day yang jatuh pada 21 Februari 2024, TeaMantappu mengadakan wawancara eksklusif bersama Cecil. Ia berbagi pengalamannya sebagai seorang multilingual di Jepang yang membuatnya kerap menjumpai berbagai aspek multikulturalisme serta tantangan yang mengiringinya. Yuk, kita simak!
Table of Contents
- 1 Yuk, kenalan dengan Cecil!
- 2 Mother language (bahasa Ibu) kamu apa, sih, Cecil?
- 3 Kamu juga sempat belajar Japanese Sign Language (JSL), ya?
- 4 Apakah kamu ada niatan untuk belajar bahasa baru?
- 5 Berapa lama kamu belajar bahasa Jepang sampai lancar?
- 6 Apa, sih, hal paling sulit saat belajar bahasa Jepang?
- 7 Kalau tantangan sebagai seorang multilingual yang tinggal di Jepang apa aja?
- 8 Project terdekat kamu setelah ini apa, nih, Cecil?
- 9 Bagaimana tanggapan kamu dengan “polisi bahasa” di media sosial yang kerap mengkritik penggunaan grammar seseorang?
- 10 Kalau tanggapan kamu menyikapi fenomena “Sok inggris”–sebutan untuk orang yang kerap mencampurkan adukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?
- 11 Apakah belajar bahasa asing saat ini penting dan patut menjadi urgensi?
- 12 Terakhir, boleh dong berikan pesan terkait pentingnya nggak melupakan bahasa Ibu (mother language), sekalipun sudah menguasai banyak bahasa asing!
- 13 Media Sosial Cecilia Amalo
- 14 Artikel Terkait
Yuk, kenalan dengan Cecil!
Konnichiwa, Mina-san!
Perkenalkan aku Cecilia Amalo, kamu bisa memanggil aku Cecil! Saat ini, aku tinggal di Jepang sebagai pelajar. Di samping itu, aku cukup aktif membuat konten di TikTok (@sweetsesil_) seputar pengalamanku selama menetap di Jepang.
Kalau kamu pengin tahu lebih lanjut tentang titik awal perjalanan yang membawaku tinggal di Jepang, kamu bisa membaca Kisah Cecilia Amalo, Berawal dari Wibu Hingga Dream Comes True!
Mother language (bahasa Ibu) kamu apa, sih, Cecil?
Keluarga besar aku tinggal di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bisa dibilang bahasa pertama yang aku kuasai dan aku pelajari adalah bahasa NTT (Belu).
Kemudian, di umur 5-18 tahun, aku tinggal di Bali yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari (conversational language).
Jujur, aku lebih lancar menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Belu. Jadi, bahasa yang aku kuasai, sampai saat ini, adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan bahasa Melayu.
Kamu juga sempat belajar Japanese Sign Language (JSL), ya?
Yup, benar sekali! Aku punya cerita soal ini.
Alasan kuat aku mempelajari Japanese Sign Language (JSL) atau bahasa isyarat Jepang adalah aku pernah ditempatkan shift siang di tempat kerja part-time aku di Jepang.
Saat itu, shift aku bersamaan dengan seorang teman yang ketika itu aku panggil-panggil, bahkan dengan nada yang sedikit naik pun dia tetap nggak menoleh.
Setelahnya, aku baru menyadari kalau dia adalah Teman Tuli. Aku ingin menunjukkan permintaan maafku dengan menggunakan bahasa isyarat yang dia mengerti. Sejak saat itu, kami jadi dekat dan aku mulai ngobrol dengan dia menggunakan gerakan tangan saja.
Kesulitan selama aku belajar Japanese Sign Language adalah kata yang ingin aku ketahui nggak bisa dicari karena nggak ada Google Translate untuk bahasa isyarat.
Bahkan meskipun sudah tahu bentuk tangan dari salah satu isyarat pun, tetap sulit untuk mencari arti dari gerakan tangan tersebut. Dan penting untuk diketahui kalau detail ekspresi wajah mempengaruhi arti dari isyarat yang dibuat.
Apakah kamu ada niatan untuk belajar bahasa baru?
Tentu ada!
Aku suka menonton drama Korea dan Thailand. Bagiku, penting untuk bisa memahami dan menggunakan bahasa dari tontonan yang kita sukai. Sebab, itulah awal mula aku belajar bahasa Jepang. Anyway, thai and korean sounds fun!
Selain itu, aku juga tertarik menguasai bahasa Mandarin. Meskipun aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga keturunan Chinese, minatku pada bahasa Mandarin terhitung “tertinggal” dibandingkan dengan sepupuku yang kebanyakan mahir berbahasa Mandarin. Saat itu, minatku hanya fokus pada bahasa Jepang. Jadi, ya, menguasai bahasa dari negara dengan ekonomi besar seperti Tiongkok adalah langkah bagus.
Berapa lama kamu belajar bahasa Jepang sampai lancar?
Ini perkiraanku, ya! Dalam tiga tahun, seseorang bisa menjadi lancar dalam berbicara (fluent in speaking), kemudian lima sampai tujuh tahun bisa menguasai grammar dan kanji.
Tips dari aku untuk pemula adalah bisa mulai dengan menonton anime. Setelah terbiasa, kamu bisa mencoba menonton YouTuber Jepang, seperti Fischer’s, Syacho Hajime, Hikakin, Yuka Kinoshita, Onomappu (Best!), dan Ten Tobata! Boleh juga coba tantang dirimu sendiri dengan berbicara dalam bahasa Jepang lewat platform Discord.
Kalau kamu benar-benar serius ingin mendalami percakapan sehari-hari, kamu bisa mencoba mencari anime yang banyak menggunakan conversational language, seperti Doraemon, Sazae-san, Chibi Maruko-chan, Crayon Shin-chan, anime dari Studio Ghibli, Sailor Moon, Gakuen Babysitter, dan masih banyak lagi.
Tapi kalau kamu ingin bersenang-senang, aku dulu menonton Naruto, sih.
Apa, sih, hal paling sulit saat belajar bahasa Jepang?
Grammar!
Aku belajar bahasa Jepang sepenuhnya mengandalkan kegiatan mendengarkan (listening). Jadi, meskipun aku bisa lancar dalam percakapan, tetapi aku sering kesulitan saat berhadapan dengan grammar.
Jangan ikuti kesalahan yang aku buat, ya, TeMantappu! Yuk, belajar dengan seimbang. Hehe. Fighting!
Kalau tantangan sebagai seorang multilingual yang tinggal di Jepang apa aja?
Hmm… tantangan, ya?
Di Jepang, semua teman-temanku bilingual bahkan multilingual, terutama yang sesama orang Indonesia. Rata-rata, mereka bisa menguasai tiga bahasa.
Karena terbiasa berbicara dengan mereka, bahasa yang aku gunakan seringkali campuran antara bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang. Bahkan, ada teman yang mencampur ketiga bahasa tersebut dengan logat medokJawa.
Plus, ketika aku berbicara dengan orang tua atau keluarga, aku harus lebih berhati-hati karena ada beberapa kosakata yang hanya dapat diartikan dalam satu bahasa tertentu.
Misalnya, “makan dicocol sambal,” “jongkok,” “lesehan,” dan sebagainya. Kata-kata tersebut jarang digunakan di Jepang. Ketika situasi memerlukan penggunaan kata-kata tersebut, kadang aku kesulitan mencari arti dalam bahasa Jepangnya. Begitu juga sebaliknya.
Project terdekat kamu setelah ini apa, nih, Cecil?
Sayangnya, selama empat tahun ini, aku tinggal di Jepang dengan rumah yang temboknya setipis kesabaranku. Jadi, susah kalau ada konten yang harus mengeluarkan suara besar.
Aku pernah mendapat teguran karena memasak tengah malam, suara perabotan masakku dianggap mengganggu.
Mungkin akan lebih baik kalau aku sesegera mungkin pindah ke tempat yang lebih luas dan kedap suara, sehingga aku bisa membuat konten tentang review makanan atau barang unik dari Jepang, atau voice-over tentang keseharianku di Jepang.
Bagaimana tanggapan kamu dengan “polisi bahasa” di media sosial yang kerap mengkritik penggunaan grammar seseorang?
Kritik, bagiku, memang perlu karena bisa membantu orang lain memperbaiki kemampuan bahasa mereka. Namun, kritik yang nggak membangun atau bahkan meledek, menurutku sangat nggak dibutuhkan.
Setiap orang punya tingkat pemahaman yang berbeda-beda dalam berbahasa. Semua orang bisa menggunakan bahasa Indonesia, tapi nggak semua orang cocok menjadi guru bahasa Indonesia yang baik. Hal yang sama juga berlaku untuk bahasa lainnya.
Menurutku, kritik yang baik adalah yang membantu dan memberikan dorongan positif. Kalau kritik yang aku terima malah bikin aku merasa down atau kehilangan semangat, itu mungkin bukan kritik yang bermanfaat.
Jadi, aku rasa penting banget untuk memberikan kritik dengan cara yang baik dan memastikan bahwa tujuannya memang untuk membantu, bukan untuk merendahkan atau mengejek.
Kalau tanggapan kamu menyikapi fenomena “Sok inggris”–sebutan untuk orang yang kerap mencampurkan adukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?
Bagiku, nggak masalah kalau seseorang memilih untuk menggunakan campuran bahasa Inggris atau bahasa lain selama lawan bicara bisa memahami apa yang ingin disampaikan.
Yang terpenting adalah isi pembicaraannya sopan dan nggak merendahkan orang lain. Saling pengertian dan menghormati satu sama lain dalam komunikasi itu yang paling penting.
Apakah belajar bahasa asing saat ini penting dan patut menjadi urgensi?
Bahasa adalah gerbang untuk memahami berbagai hal.
Ambil contoh Jerome Polin. Kalau saat itu, di Waseda University, Jerome nggak bisa bahasa Jepang. Katakanlah, mau sejago apapun Jerome mengerjakan soal matematika, ia bakal tetap kesulitan mengerjakan soal matematika dalam bahasa Jepang.
Kemampuan berbahasa asing memungkinkan kita untuk nggak mudah dibodohi ketika berkunjung ke negara orang. Hal ini juga memungkinkan kita untuk hadir dan berpartisipasi dalam lingkup internasional.
Ketika kita belajar bahasa asing, kita secara otomatis belajar tentang budaya dan kebiasaan dari negara tersebut. Belajar bahasa asing membuka wawasan kita tentang dunia, membantu kita memahami keragaman budaya, dan memperluas pandangan kita tentang kehidupan.
Terakhir, boleh dong berikan pesan terkait pentingnya nggak melupakan bahasa Ibu (mother language), sekalipun sudah menguasai banyak bahasa asing!
Merantau ke negara yang jauh membuat aku menyadari betapa aku sangat bertumpu pada bahasa ibuku.
Sejauh apa pun aku belajar dan menguasai bahasa baru, nggak bisa menggantikan kedalaman dan kenyamanan yang aku rasakan dengan bahasa ibuku yang sudah kudengar sejak lahir.
Bahasa ibu menjadi bagian esensial dari identitas dan kehidupanku sehari-hari, dan aku memiliki hubungan emosional yang sangat kuat karena sudah kudengar sejak lahir.
Meskipun aku bisa belajar bahasa baru dan mampu menggunakan kosakata dalam bahasa tersebut, tapi kadang masih ada situasi di mana aku merasa bahasa ibuku adalah yang paling nyaman dan paling mudah dipahami. Ini hal yang wajar, dan bahasa ibuku tetap menjadi bagian yang tak tergantikan dari diriku.
***
Menginspirasi sekali, ya, pengalaman Cecil sebagai seorang multilingual? Cecil juga mengingatkan kita untuk nggak melupakan bahasa ibu sekalipun kita sudah menguasai bahasa asing. Bagian mana, nih, yang menjadi favoritmu, TeMantappu?
Media Sosial Cecilia Amalo
Masih banyak konten menarik dari Cecil yang membahas kehidupannya sebagai perantau di Jepang! Cari tahu selengkapnya lewat media sosial Cecil di bawah ini: