Terkadang, kita sering mendengar wajib militer (wamil) menjadi semacam ketakutan bagi sebagian warga Korea. Bahkan, beberapa di antaranya sampai melarikan diri untuk menghindari wamil. Meskipun citra tentara seringkali dipromosikan sebagai sosok yang keren, gagah, dan berwibawa dalam berbagai media, tetapi bagaimana sebenarnya pelaksanaan wamil di Korea, ya? Yuk, kita simak penjelasan langsung dari Jang Hansol!
Halo, Bolo-Bolo dan TeMantappu!
Belakangan ini, muncul topik menarik yang menjadi sorotan akun menfess di X (sebelumnya Twitter) yang menyinggung mengenai kecenderungan orang Korea untuk menghindari wajib militer (wamil). Sebagaimana diketahui, di Korea Selatan, wamil adalah suatu kewajiban bagi warga negaranya, yang harus dilaksanakan selama 18 bulan.
Diskusi tentang wamil semakin panjang ketika drama Korea D.P (Desarter Pursuit) disebut. Drama tersebut mengisahkan sebuah unit Angkatan Darat yang bertugas melacak dan menangkap para tentara yang mangkir dari kewajiban. Drama Korea D.P menggambarkan sisi kelam dari wajib militer Korea Selatan, yang terkadang dipenuhi dengan kekerasan dan perundungan.
Fenomena ini pun menjadi bahan perbincangan yang ramai di berbagai platform, sekaligus di kanal YouTube Korea Reomit milik Jang Hansol. Dalam videonya, Hansol mengulas secara mendalam berbagai hal terkait dengan wamil. Yuk, kita telusuri lebih dalam!
Table of Contents
Tentara di Drama Korea dan di Wajib Militer Korea Berbeda
Korea, melalui turunan drama Korea miliknya, kerap menggambarkan tentara sebagai sosok yang keren dan idolakan. “Meskipun tentara dianggap penting untuk memberikan keamanan bagi negara, kenyataannya wamil adalah hal yang berbeda dengan tentara,” ujar Hansol dalam videonya.
Apa yang sebenarnya terjadi sesungguhnya di balik wamil? Hansol menceritakan ulang kejadian tragis sepuluh tahun lalu kala seorang prajurit melakukan serangan brutal kepada sejumlah peserta wamil tak bersalah.
Bagi banyak orang Korea, wamil adalah suatu kewajiban yang tak terhindarkan. Meskipun laki-laki di Korea wajib menjalani wamil selama 2 tahun, kini durasinya telah dipersingkat menjadi 1,5 tahun. Namun, hal tersebut nggak mengurangi kesulitan dan tantangan yang dihadapi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Hansol mengungkapkan sebagian orang di Korea sana memilih untuk melahirkan di luar negeri agar anak-anak mereka terbebas dari kewajiban wamil saat dewasa. Fenomena ini menunjukkan ada ketakutan dan kecemasan yang mendalam terkait wamil di masyarakat Korea. Sebetulnya ada apa, ya?
Baca Juga: Hujan dan Flu: Apa Hubungannya? Ini Penjelasan Ekida Rehan
Kasus Wajib Militer di Korea: Kisah Tragis Lim Dobin
Hansol menceritakan sosok bernama Lim Dobin sebagai tokoh pusat dari sebuah tragedi kekerasan pasca wamil. Berusia 22 tahun, Lim Dobin ditugaskan di perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan sebagai bagian dari kewajibannya dalam wajib militer (wamil).
Sejak kecil, Lim Dobin mengalami kesulitan dalam melafalkan kata-kata dengan sempurna, yang membuatnya menjadi sasaran perundungan (bullying) di sekolah. Kehidupannya yang dipenuhi dengan cemoohan dan perlakuan nggak adil membuatnya menjadi seorang yang pendiam, dengan hanya memiliki tiga teman. Situasi ini semakin diperparah oleh keadaan di Korea, di mana kasus pembullyan di sana sangatlah kejam.
Penderitaan Lim Dobin mencapai titik terendahnya saat ia berada di SMP, saat itu ia merasakan depresi yang mendalam dan berulang kali mempertimbangkan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Saat memasuki SMA, situasinya nggak berubah menjadi lebih baik, dan ia terus mengalami tekanan dari para pelaku bullying.
Semua Bisa Menjadi Korban Saat Wajib Militer di Korea
Puncaknya, Lim Dobin sampai mempertimbangkan untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai balasan atas perlakuan yang ia terima. Kemudian, ketika ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas, ia pun menjalani wamil setelah menyelesaikan satu semester kuliah.
Lim Dobin ditempatkan dalam unit Soldier of Interest, sebutan bagi tentara yang membutuhkan perhatian khusus karena kondisi kesehatan mental. Di wajib militer, semua orang bisa dapat kenaikan pangkat atau jabatan. Lim Dobin yang saat itu telah naik jabatan mulai memiliki bawahan junior. Di sini, ia mulai memanfaatkan jabatannya dengan bersikap kasar.
Puncak tragedi datang pada Juni 2014, ketika Lim Dobin melakukan tindakan yang mengerikan. Terpicu oleh sebuah gambar yang membuatnya merasa direndahkan, Lim Dobin mengingat trauma masa lalunya dan melakukan pembunuhan.
Dalam serangan mengerikan itu, ia menembaki teman-temannya dengan total 25 peluru. Hal ini menyebabkan 1 korban tewas, yang kebetulan adalah seorang junior yang baik kepadanya. Dalam keadaan panik dan penuh penyesalan, Lim Dobin melarikan diri dengan membawa senjata dan ponselnya.
Pada akhirnya, Lim Dobin ditangkap kembali setelah 40 jam dalam pencarian. Namun, dalam kejadian yang mengejutkan, ternyata ia juga mencoba untuk menembak dirinya sendiri, meskipun pada akhirnya berhasil selamat.
Ia kemudian diadili di pengadilan militer dan dijatuhi hukuman mati karena sejumlah tuduhan, termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan atas atasannya, serta sejumlah pelanggaran lainnya.
Perspektif Pro dan Kontra terhadap Wajib Militer di Korea
Kisah tragis Lim Dobin menjadi cerminan dari kompleksitas masalah di dalam lingkungan militer. Perdebatan mengenai wajib militer di Korea juga menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat.
Beberapa di antaranya, menurut Hansol, sangat menyayangkan orang-orang dengan kondisi mental yang rapuh dipaksa untuk menjalani wajib militer, tanpa mempertimbangkan risiko yang dapat timbul dari kehadiran mereka di dalamnya.
Hansol juga menekankan kalau setiap orang yang menjalani wajib militer memiliki risiko menjadi korban dari kejadian-kejadian tragis yang melibatkan senjata yang disalahgunakan seperti ini.
Hal inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan kesejahteraan individu-individu yang terlibat dalam sistem wajib militer.
Baca Juga: “Girls Code” Sesama Content Creator Ala Maria Clarin
***
Wah, kalau begini memang perlu, ya, mengevaluasi kembali sistem wajib militer dengan lebih baik. Hansol sampai-sampai berharap kalau “Bukankah lebih baik jikalau wamil nggak lagi menjadi kewajiban dan hanya diperuntukkan bagi yang berminat menjadi tentara saja?” Gimana, nih, menurutmu, TeMantappu?
Media Sosial Jang Hansol
Nantikan konten terbaru dari Korea Reomit dengan mengikuti media sosial Hansol di bawah ini: